Rabu, 17 Februari 2016

Pers Release



Sebelas Fakta Upaya Penghancuran Sekolah Oleh PEMKOT Surabaya



Yayasan Pendidikan Trisila yang untuk selanjutnya disebut YPT adalah yayasan swasta yang bergerak dibidang pendidikan (sekolah) yang memiliki ribuan siswa, 90 guru & karyawan. YPT menyelenggarakan pendidikan jenjang TK, SD, SMP, SMA & SMK sejak 1958. Saat ini semua kegiatan pendidikan YPT berlokasi di atas sebidang tanah dan bangunan di Jl. Undaan Kulon No.57-59 Surabaya dimana sebelumnya kegiatannya berada di atas sebidang tanah dan bangunan di Jl. Gembong Cantian No.40-42, Surabaya.

Kepindahan YPT ke Jl. Undaan Kulon No.57-59 Surabaya bukan merupakan insiatif YPT tetapi atas dasar Surat Perintah pindah dari Pemerintah cq. Korps Komando (KKO) Angkatan Laut No.021/Dat/Ko.Tim./II/’67 tanggal 2 Februari 1967. Perintah pindah dari  KKO AL dilakukan sehubungan situasi saat itu yang belum kondusif pasca peristiwa G30S PKI.

Saat ini, sedang terjadi sengketa lahan dengan PT Rajawali Nusantara Indonesia (BUMN) di Pengadilan, RNI  ingin menggusur Sekolah tanpa ganti rugi untuk dibangun sebuah hotel, bahkan sekolah diminta membayar Rp 20 M. Syahwat pembisnis pemodal diduga kuat mendapat dukungan dari Dinas Pendidikan kota Surabaya sehingga mengabaikan kelangsungan pendidikan di YPT, bahkan mengorbankan hak-hak peserta didik dan tidak memikirkan nasib para gurunya. Disdik kota Surabaya yang seharusnya berkewajiban melindungi kepentingan pendidikan justru cenderung membela kepentingan pemodal.

Yayasan Pendidikan Trisila telah berjasa besar membantu Pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa selama 58 tahun. Namun, Pemerintah Walikota Surabaya sungguh tidak menghargai jasa partisipasi YPT membantu Pemerintah menuntaskan wajib belajar 12 tahun melainkan berniat menghancurkan dengan menerbitkan Perwalkot (Peraturan Walikota) Surabaya yang baru bernomor:47 Tahun 2013 pasal 69 ayat(4) yang mempersyaratkan perpanjangan Izin Operasional Sekolah dengan bukti kepemilikan lahan.

Rupanya bagi Pemerintahan Walkot Surabaya syarat legalitas Izin Operasional Pendidikan , kepemilikan lahan dari peraturan yang baru sungguh jauh lebih berharga dan bernilai dari jasa mengelola pendidikan,mengurus dan merawat lahan sekolah puluhan tahun.

Pertanyaan bagi Publik ada apa dengan Walkot Surabaya yang membuat peraturan baru tentang Izin Operasional Pendidikan mengatur kepemilikan lahan, pdahal peraturan diatasnya yaitu UU No:20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas hanya mengatur kewajiban sekolah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memenuhi keperluan pendidikan. Karena selamaYayasan puluhan tahun Pendidikan Trisila memiliki sarana dan prasarana sehingga dapat dipercaya oleh Pemerintah dan masyarakat dalam Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan terbitlah Izin Operasional dan Akreditasi yang dikeluarkan oleh lembaga resmi Pemerintah selama ini.


Sampai saat ini belum ada peraturan yang lebih tinggi yang mensyaratkan Izin Pendirian dan Operasional Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan melampirkan bukti surat kepemilikan tanah sesuai UU Pertanahan yaitu UU No:5 Tahun 1960, apabila peraturan dan hukum pertanahan yang diterapkan secara kaku maka sekolah negeri milik Pemerintah pun khususnya di kota-kota besar banyak yang tidak bisa memenuhi syarat Izin Operasional karena tidak memiliki dokumen kepemilikan tanah.

“Kami menduga tujuan pembuatan Perda hanya untuk mengatur dan menggusur keberadaan sekolah swasta,yang berujung pada adanya pelanggaran HAM yang diatur pada UU No:39 Tahun 1999”, ujar Retno Listyarti, Sekjen FSGI

Karena peraturan Walkot bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka peraturan Izin Operasional yang dimaksuddapat dipastikan melanggar asas umum pemerintahan yang baik,tidak adil dan tidak berkepastian hukum. “Selain itu, suatu peraturan tidak berlaku surut,dengan demikian peraturan yang baru hanya berlaku bagi sekolah yang baru mendirikan sekolah dan baru mengurus Izin Operasional Pendidikan, sedangkan sekolah lama berizin operasional, hanya tunduk pada peraturan yang lama,” lanjut Retno


Sebelas Potensi Penghancuran Yayasan Pendidikan Trisila oleh Pemkot Surabaya melalui Dinas Pendidikan Kota Surabaya:


Pertama, terbitnya Perwalkot (Peraturan Walikota) Surabaya yang baru bernomor:47 Tahun 2013 pasal 69 ayat(4) yang mempersyaratkan perpanjangan Izin Operasional Sekolah dengan bukti kepemilikan lahan. Peraturan ini yang digunakan untuk menggusur keberadaan sekolah-sekolah swasta seperti YPT, bahkan SMA Pratica Surabaya juga mengalami intimidasi yang sama seperti dialami YPT.

Kedua, Dinas Pendidikan Kota Surabaya kepada publik melalui media menyatakan bahwa sekolah-sekolah dibawah naungan YPT tidak mendapatkan perpanjangan izin operasional sekolah karena tidak dapat menunjukkan sertifikat tanah atas lahan yang ditempati sekarang. Bahkan karena tidak dapat menunjukkan sertifikat tanah, lebih jauh lagi juga dianggap tidak mempunyai sarana prasarana sehingga Dinas Pendidikan Kota Surabaya tidak dapat lagi menerbitkan izin operasional sekolah kepada sekolah-sekolah dibawah naungan YPT.



Ketiga, adanya larangan menerima siswa baru  bagi TK, SD, SMP, SMK, dan SMA Trisila yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya dengan menggunakan lima surat keputusan larangan. Pada saat YPT mengajukan gugatan pembatalan surat tersebut ke PTUN Surabaya, maka sesuai aturan setiap tahapan gugatan hanya diperkenankan mengajukan 1(satu) surat/obyek sengketa, karena jumlah surat ada 5 buah maka gugatan pun harus diajukan sebanyak 5 kali gugatan. Hal ini tentu saja menguras energy, waktu dan biaya yang tidak kecil.



Keempat, Dinas Pendidikan Kota Surabaya memerintahkan secara tertulis agar semua siswa yang ada dimerger atau dimutasikan dengan dalih karena adanya sengketa tanah yang digunakan YPT sebagai sekolah di Jl. Undaan Kulon No.57-59 Surabaya dengan PT. RNI.

Kelima, Dinas Pendidikan Kota Surabaya secara tertulis menyatakan tidak akan memperpanjang Ijin Operasional Sekolah yang berada dibawah naungan YPT ketika Ijin Operasional Sekolah itu habis masa berlakunya.

Keenam, Dinas Pendidikan Kota Surabaya kerap melakukan kecenderungan pembunuhan karakter terhadap YPT. Bahkan berbagai pelatihan guru yang diselenggarakan pemerintah tidak pernah mengundang/melibatkan guru-guru YPT.

Ketujuh, adanya insruksi dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya yang melarang sekolah-sekolah YPT melakukan pendaftaran UN dengan alasan tidak memiliki ijin operasional sekolah, bahkan profil sekolah sebagai prosedur pendaftaran peserta UN juga di blokir Dinas Pendidikan Kota Surabaya. YPT kemudian mengadu ke Komnas HAM dan hearing ke DPRD Kota Surabaya, kemudian diijinkan ujian menumpang di subrayon.

Kedelapan, Setelah diijinkan menumpang ujian dengan sistem UNBK, ternyata para siswa YPT tidak boleh ujian disekolahnya sendiri walaupun YPT sudah dinyatakan layak menyelenggarakan UNBK oleh pihak berwenang. Para siswa YPT harus ujian menumpang di sekolah sub rayon dan memindahkan seluruh isi labotarium komputernya dan membangun jaringan sendiri di sekolah tumpangan. YPT tidak sanggup karena tidak memiliki dana, sementara ada larangan memungut biaya UNBK dari Kemdikbud. Jadi para siswa YPT terancam tidak ikut UN.

Kesembilan,  secara sepihak Dinas Pendidikan Kota Surabaya memblokir dana Bantuan Opersional Sekolah (BOS)  tahun 2015 untuk SD dan SMP YPT, sehingga tidak bisa diguakan untuk kepentingan sekolah dan peserta didik, tetapi pihak Disdik Kota Surabaya menagih laporan penggunaan dana BOS oleh SD dan SMP YPT.

Kesepuluh, pihak Dinas Pendidikan Kota Surabaya tidak memikirkan nasib para pendidik dan tenaga kependidikan pada sekolah-sekolah YPT jika sekolah ditutup karena tidak mendapat ijin operasional.

Kesebelas, selama ini sengketa lahan terjadi, Disdik Surabaya tidak pernah mengundang pihak YPT  untuk berdialog untuk berbagai keputusan Dinas Pendidikan Kota Surabaya yang menyangkut sekolah-sekolah dibawah naungan  YPT.