Sebelas Fakta Upaya Penghancuran Sekolah Oleh PEMKOT Surabaya
Yayasan
Pendidikan Trisila yang untuk selanjutnya disebut YPT adalah yayasan swasta
yang bergerak dibidang pendidikan (sekolah) yang memiliki ribuan siswa, 90 guru & karyawan. YPT menyelenggarakan
pendidikan jenjang TK, SD, SMP, SMA & SMK sejak 1958. Saat ini semua
kegiatan pendidikan YPT berlokasi di atas sebidang tanah dan bangunan di Jl.
Undaan Kulon No.57-59 Surabaya dimana sebelumnya kegiatannya berada di atas
sebidang tanah dan bangunan di Jl. Gembong Cantian No.40-42, Surabaya.
Kepindahan
YPT ke Jl. Undaan Kulon No.57-59 Surabaya bukan merupakan insiatif YPT tetapi
atas dasar Surat Perintah pindah dari Pemerintah cq. Korps Komando (KKO)
Angkatan Laut No.021/Dat/Ko.Tim./II/’67 tanggal 2 Februari 1967. Perintah pindah dari
KKO AL dilakukan
sehubungan situasi saat itu yang belum kondusif pasca peristiwa G30S PKI.
Saat ini, sedang terjadi sengketa lahan dengan
PT Rajawali Nusantara Indonesia (BUMN) di Pengadilan, RNI ingin menggusur Sekolah tanpa ganti rugi
untuk dibangun sebuah hotel, bahkan sekolah diminta membayar Rp 20 M. Syahwat
pembisnis pemodal diduga kuat mendapat dukungan dari Dinas Pendidikan kota
Surabaya sehingga mengabaikan kelangsungan pendidikan di YPT, bahkan mengorbankan
hak-hak peserta didik dan tidak memikirkan nasib para gurunya. Disdik kota
Surabaya yang seharusnya berkewajiban melindungi kepentingan pendidikan justru
cenderung membela kepentingan pemodal.
Yayasan
Pendidikan Trisila telah berjasa besar membantu Pemerintah dalam mencerdaskan
anak bangsa selama 58 tahun. Namun, Pemerintah Walikota Surabaya sungguh tidak
menghargai jasa partisipasi YPT membantu Pemerintah menuntaskan wajib belajar
12 tahun melainkan berniat menghancurkan dengan menerbitkan Perwalkot
(Peraturan Walikota) Surabaya yang baru bernomor:47 Tahun 2013 pasal 69 ayat(4)
yang mempersyaratkan perpanjangan Izin Operasional Sekolah dengan bukti
kepemilikan lahan.
Rupanya
bagi Pemerintahan Walkot Surabaya syarat legalitas Izin Operasional Pendidikan
, kepemilikan lahan dari peraturan yang baru sungguh jauh lebih berharga dan
bernilai dari jasa mengelola pendidikan,mengurus dan merawat lahan sekolah
puluhan tahun.
Pertanyaan
bagi Publik ada apa dengan Walkot Surabaya yang membuat peraturan baru tentang
Izin Operasional Pendidikan mengatur kepemilikan lahan, pdahal peraturan
diatasnya yaitu UU No:20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas hanya mengatur kewajiban
sekolah menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memenuhi keperluan
pendidikan. Karena selamaYayasan puluhan tahun Pendidikan Trisila memiliki
sarana dan prasarana sehingga dapat dipercaya oleh Pemerintah dan masyarakat
dalam Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan terbitlah Izin Operasional dan
Akreditasi yang dikeluarkan oleh lembaga resmi Pemerintah selama ini.
Sampai
saat ini belum ada peraturan yang lebih tinggi yang mensyaratkan Izin Pendirian
dan Operasional Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan melampirkan bukti
surat kepemilikan tanah sesuai UU Pertanahan yaitu UU No:5 Tahun 1960, apabila
peraturan dan hukum pertanahan yang diterapkan secara kaku maka sekolah negeri
milik Pemerintah pun khususnya di kota-kota besar banyak yang tidak bisa
memenuhi syarat Izin Operasional karena tidak memiliki dokumen kepemilikan
tanah.
“Kami
menduga tujuan pembuatan Perda hanya untuk mengatur dan menggusur keberadaan
sekolah swasta,yang berujung pada adanya pelanggaran HAM yang diatur pada UU
No:39 Tahun 1999”, ujar Retno Listyarti, Sekjen FSGI
Karena
peraturan Walkot bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka peraturan
Izin Operasional yang dimaksuddapat dipastikan melanggar asas umum pemerintahan
yang baik,tidak adil dan tidak berkepastian hukum. “Selain itu, suatu peraturan
tidak berlaku surut,dengan demikian peraturan yang baru hanya berlaku bagi
sekolah yang baru mendirikan sekolah dan baru mengurus Izin Operasional
Pendidikan, sedangkan sekolah lama berizin operasional, hanya tunduk pada
peraturan yang lama,” lanjut Retno
Sebelas Potensi Penghancuran Yayasan Pendidikan Trisila oleh Pemkot Surabaya melalui Dinas Pendidikan Kota Surabaya:
Pertama, terbitnya
Perwalkot (Peraturan Walikota) Surabaya yang baru bernomor:47 Tahun 2013 pasal
69 ayat(4) yang mempersyaratkan perpanjangan Izin Operasional Sekolah dengan
bukti kepemilikan lahan. Peraturan ini yang digunakan untuk menggusur keberadaan
sekolah-sekolah swasta seperti YPT, bahkan SMA Pratica Surabaya juga mengalami
intimidasi yang sama seperti dialami YPT.
Kedua,
Dinas Pendidikan Kota Surabaya kepada publik melalui media menyatakan bahwa sekolah-sekolah
dibawah naungan YPT tidak mendapatkan perpanjangan izin operasional sekolah
karena tidak dapat menunjukkan sertifikat tanah atas lahan yang ditempati
sekarang. Bahkan karena tidak dapat menunjukkan sertifikat tanah, lebih jauh
lagi juga dianggap tidak mempunyai sarana prasarana sehingga Dinas Pendidikan
Kota Surabaya tidak dapat lagi menerbitkan izin operasional sekolah kepada
sekolah-sekolah dibawah naungan YPT.
Ketiga, adanya larangan menerima siswa baru bagi TK, SD, SMP, SMK, dan SMA Trisila yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya dengan menggunakan lima surat keputusan larangan. Pada saat YPT mengajukan gugatan pembatalan surat tersebut ke PTUN Surabaya, maka sesuai aturan setiap tahapan gugatan hanya diperkenankan mengajukan 1(satu) surat/obyek sengketa, karena jumlah surat ada 5 buah maka gugatan pun harus diajukan sebanyak 5 kali gugatan. Hal ini tentu saja menguras energy, waktu dan biaya yang tidak kecil.
Keempat, Dinas Pendidikan Kota Surabaya memerintahkan secara tertulis agar semua siswa yang ada dimerger atau dimutasikan dengan dalih karena adanya sengketa tanah yang digunakan YPT sebagai sekolah di Jl. Undaan Kulon No.57-59 Surabaya dengan PT. RNI.
Kelima, Dinas Pendidikan Kota Surabaya secara tertulis menyatakan tidak akan memperpanjang Ijin Operasional Sekolah yang berada dibawah naungan YPT ketika Ijin Operasional Sekolah itu habis masa berlakunya.
Keenam,
Dinas Pendidikan Kota Surabaya kerap melakukan kecenderungan pembunuhan
karakter terhadap YPT. Bahkan berbagai pelatihan guru yang diselenggarakan
pemerintah tidak pernah mengundang/melibatkan guru-guru YPT.
Ketujuh,
adanya insruksi dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya yang melarang
sekolah-sekolah YPT melakukan pendaftaran UN dengan alasan tidak memiliki ijin
operasional sekolah, bahkan profil sekolah sebagai prosedur pendaftaran peserta
UN juga di blokir Dinas Pendidikan Kota Surabaya. YPT kemudian mengadu ke
Komnas HAM dan hearing ke DPRD Kota Surabaya, kemudian diijinkan ujian
menumpang di subrayon.
Kedelapan,
Setelah diijinkan menumpang ujian dengan sistem UNBK, ternyata para siswa YPT
tidak boleh ujian disekolahnya sendiri walaupun YPT sudah dinyatakan layak
menyelenggarakan UNBK oleh pihak berwenang. Para siswa YPT harus ujian menumpang
di sekolah sub rayon dan memindahkan seluruh isi labotarium komputernya dan
membangun jaringan sendiri di sekolah tumpangan. YPT tidak sanggup karena tidak
memiliki dana, sementara ada larangan memungut biaya UNBK dari Kemdikbud. Jadi
para siswa YPT terancam tidak ikut UN.
Kesembilan,
secara sepihak Dinas Pendidikan Kota
Surabaya memblokir dana Bantuan Opersional Sekolah (BOS) tahun 2015 untuk SD dan SMP YPT, sehingga
tidak bisa diguakan untuk kepentingan sekolah dan peserta didik, tetapi pihak
Disdik Kota Surabaya menagih laporan penggunaan dana BOS oleh SD dan SMP YPT.
Kesepuluh,
pihak Dinas Pendidikan Kota Surabaya tidak memikirkan nasib para pendidik dan
tenaga kependidikan pada sekolah-sekolah YPT jika sekolah ditutup karena tidak
mendapat ijin operasional.
Kesebelas,
selama ini sengketa lahan terjadi, Disdik Surabaya tidak pernah mengundang
pihak YPT untuk berdialog untuk berbagai
keputusan Dinas Pendidikan Kota Surabaya yang menyangkut sekolah-sekolah
dibawah naungan YPT.